Minggu, 27 Januari 2013

BEBAN KALOR DAN SISTEM PENYEGAR UDARA


Beban Kalor
Suasana dalam ruangan suatu bangunan selalu diusahakan supaya keadaannya dalam keadaan aman dan nyaman agar penghuninya terhindar dari perasaan gelisah dan membosankan. Untuk itu baik kondisi interior maupun pengaruh dari luar yang berubah-ubah diusahakan tidak mempengaruhi kenyamanan dari ruangan, maka untuk istilah dibuat suatu pengkondisian yang baik dengan membuat sistem penghantar dan pendinginan yang aktif. Perancangan penghangatan, ventilasi dan pengkondisian udara harus dimulai dengan mengetahui sifat-sifat termal dinding, atap yang menentukan kapasitas dan energi  kerja yang dibutuhkan.
Untuk itu perlu menjejaki prosedur-prosedur dalam menentukan nilai pengaruh sifat-sifat termal dinding bangunan untuk merancang penghangatan, ventilasi dan pengkondisian udara/heating, ventilating, dan air conditioning atau HV AC yang diperlukan untuk menciptakan keadaan nyaman.
Jadi beban kalor terdiri dari beban kalor ruangan dan beban kalor alat penyegar  udara yang ada dalam ruangan.
1). Beban Kalor Ruangan.
Gambar 2.17 menunjukkan suatu contoh instalasi pendingin ruangan yang mempergunakan alat penyegar udara/air conditioner). Bila dilihat dari proses  pendinginan pada gambar tersebut adalah seperti berikut :
Udara ruangan diisap masuk ke dalam alat penyegar atau bercampur dengan udara luar (keadan 1 dan 2)
1.       Campuran udara menjadi keadaan pada (3)
2.       Udara (3) didinginkan dengan jalan mengalirkan melalui koil pendingin
3.       Bila permukaan koil pendingin temperaturnya lebih rendah dari titik embun dari udara 93) maka uap air dalam udara akan mengembun pada koil pendingin
4.        Akibat pengembunan sehingga perbandingan kelembaban udara (4) akan berkurang.
5.        Apabila temperatur udara (4) terlalu rendah, maka udara tersebut dapat digunakan dengan mengalirnya melalui koil pemanas sehingga diperoleh  temperatur udara sesuai yang dibutuhkan.
6.       Dalam operasi pemanasan bila udara panas menjadi kering maka perbandingan kelembaban udara dapat dinaikkan dengan menyemprotkan air pelembab
7.       Udara (6) seklah melalui blower berangsur-angsur menjadi panas
8.       keadaan 97) dan akhirnya masuk ke dalam ruangan
9.       Supaya dapat berfungsi untuk mendinginkan, udara (7) haruslah masuk pada temperatur dan perbandingan kelembaban lebih rendah dari ruangan (1)
10.   Bila udara (7) dan (1) bercampur kelembabannya naik menjadi sama dengan udara (1)
11.    Udara (7) menyerap kalor sensibel dan uap air (kalor) laten akan menjadi dalam ruangan.
Dalam proses yang terjadi tadi, kalor sensibel dan kalor laten yang terjadi di dalam ruangan menjadi beban kalor (heat load) dari ruangan yang bersangkutan.Oleh karena itu beban kalor ini harus diatasi oleh udara yang keluar dari alat penyegar supaya kondisi udara di dalam ruangan dapat dipertaruhkan padakondisi yang diinginkan baik temperaturnya maupun kelembabannya.
Beban kalor ruangan terdiri dari :
a.        Kalor yang masuk dari luar ruangan ke dalam ruangan
b.      Kalor yang bersumber didalam ruangan itu sendiri (beban kalor interior)
2) Beban kalor alat penyegar udara
Seperti terlihat pada gambar 2.17. maka untuk menghasilkan udara penyegar yang masuk ke dalam ruangan dari alat penyegar udara yang diinginkan jumlah kalor yang harus dilayani oleh alat –alat penyegar adalah sebagai berikut :
1.       Beban kalor ruangan
2.       Beban kalor dari udara luar yang masuk ke alat penyegar
3.       Beban blower dan motor
4.        Kebocoran dari saluran
3.2. Beban kalor ruangan dan udara penyegar
Dalam hal ini harus dipahami betul bahwa yang menentukan disini adalah beban kalor sensibel dan beban kalor laten. Apabila kita menginginkan temperatur ssuatu ruangan diinginkan t r’C dan temperatur udara penyegar yang masuk adalah t a, maka jumlah udara penyegar yang  diperlukan adalah :
3.3 Titik embun alat penyegar udara
Bila dilihat dari segi persamaan seharusnya titik embun dari alat penyegar udara hampir sama dengan titik embun dari yang bersangkutan dengan perbandingan kelembaban dan udara penyegar. Tetapi pada kenyataan titik embun dari alat penyegar adalah 1o atau 2oC lebih rendah dari hasil perhitungan menurut persamaan  hal ini disebabkan temperatur permukaan koil pendingin di dalam alat penyegar harus diperhitungkan karena adanya faktor penyimpangan seperti terlihat pada gambar 2.18.

A Comparison of an R22 and an R410A Air Conditioner Operating at High Ambient Temperatures


R22 and R410A split air-conditioning systems were tested and compared as outdoor temperature ranged from 27.8 °C (82.0 °F) to 54.4 °F (130 °F). The R410A system tests were extended to 68.3 °C (155.0 °F) ambient temperature with a customized compressor. Capacity and efficiency of both systems decreased linearly with increasing outdoor temperature, but the R410A system performance degraded more than the R22 system performance. Operation of the R410A system was stable during all tests, including those with the customized compressor extending up to the 68.3 °F (155.0 °F) outdoor temperature and resulting in a supercritical condition at the condenser inlet. No noticeable changes in noise level or operation of the system was noted.
Operation of an air conditioner at elevated ambient temperatures inherently results in a lower coefficient of performance (COP). This conclusion comes directly from examining the Carnot cycle. The COP relation, COP=Tevap/(Tcond-Tevap), indicates that the COP decreases when the condenser temperature increases at a constant evaporation temperature. This theoretical indication derived from the reversible cycle is valid for all refrigerants. For refrigerants operating in the vapor compression cycle, the COP degradation is greater than that for the Carnot cycle and varies among fluids. The two most influential fundamental thermodynamic properties affecting this degradation are a refrigerant’s critical temperature and molar heat capacity. (e.g., McLinden 1987, Domanski 1999). For a given application, a fluid with a lower critical temperature will tend to have a lower COP.
The lower critical temperature of R410A versus that of R22 (70.1 °C (158.1 °F) vs. 96.2 °C (205.1 °F)) indicates that degradation of performance at high ambient temperature should be greater for R410A than R22.
Wells et al. (1999) investigated split system air-conditioning units in the 12 to 13 SEER range.Their test results were normalized with respect to cooling capacity at the 35.0 °C (95.0 °F) outdoor condition. The R22 system cooling capacity decreased by 14 % at an outdoor temperature of 51.7 °C (125.0 °F). The R410A system cooling capacity decreased nonlinearly by 22 % at the same condition. EER at 51.7 °C (125.0 °F) decreased by 35 % and 42 % for the R22 and R410A systems, respectively. Their study showed that performance varied between units equipped with a TXV, short tube, or capillary as the expansion device.
Motta and Domanski (2000) simulated the performance of R22 and four of its alternatives in an air conditioner as the outdoor air temperature ramped from 25.0 °C (77.0 °F) to 55.0 °C (131.0 °F). When the performance of the R410A system was normalized with respect to the performance of the R22 system over the entire temperature range, the R410A system EER was approximately 2 % lower at 25.0 °C (77.0 °F) and 6.5 % lower at 55.0 °C (131.0 °F). Their simulations also included the addition of a liquid line to suction line internal heat exchanger. It was shown in the simulations that the 6.5 % loss in COP (EER) could be reduced to 3.2 % by the addition of an internal heat exchanger.

REFERENCES:
ANSI/ASHRAE Standard 37-1988. Methods of testing for rating unitary air-conditioning and heat pump equipment. American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers. 1791 Tullie Circle NE, Atlanta, GA, USA.
McLinden, M.O., Klein, S.A., Lemmon, E.W., and Peskin, A.P. 1998. NIST thermodynamic and transport properties of refrigerants and refrigerant mixtures – REFPROP (Version 6.01), National Institute of Standards and Technology – Physical and Chemical Properties Division (Boulder, Colorado). 


Pengecekan Kebocoran Sistem Pendingin



Setelah dilakukan proses instalasi / penyambungan pipa antara indoor dan outdoor unit (untuk type split system) ataupun penyambungan seluruh komponen refrigerasinya, langkah selanjutnya adalah proses pengecekan kebocoran instalasi. Yaitu memastikan bahwa sistem refrigerasi tersebut benar-benar terisolasi dari lingkungan sekitarnya.
Sebagian teknisi, melakukan testing kebocoran ini dengan metoda “vacuum” yaitu sistem divakum sampai mendekati absolut vakum yaitu -30inHg atau -1atm dan dibiarkan beberapa waktu. Jika jarum atau angka tidak bergerak dari titik vakum terendah, maka teknisi memastikan bahwa tidak ada kebocoran dalam sistem.
Sebagian lagi menggunakan metoda “pressurize system” yaitu sistem diberi tekanan sampai lebih kurang 10% dari batas tekanan kerja maksimumnya. Media yang digunakan untuk pressurize-nya umumnya menggunakan Nitrogen (N2).
Manakah dari kedua teknik tersebut yg lebih baik?
Tekanan kerja vakum maksimal adalah -1atm (-14.7psig). Jadi jika menggunakan metoda vakum, hanya kebocoran besar yg bisa terdeteksi yaitu kebocoran yang kategori perbedaan tekanan kerja dan lingkungannya relatif kecil.
Jika menggunakan teknik “pressurize system” maka semua range tekanan kerja akan terlampaui sehingga jika tidak terjadi kebocoran dengan metoda ini sudah bisa dipastikan bahwa sistem akan bekerja aman (dipastikan bahwa sistem sudah benar-benar tidak terdapat kebocoran).
Jadi sebenarnya vakum bukanlah menjadi cara terbaik untuk melakukan testing kebocoran. Selain itu juga jika dengan menggunakan teknik vakum, jika terjadi kebocoran, justru udara yang akan masuk ke dalam sistem, yang seharusnya hal ini dihindari untuk mencegah kontaminasi dengan pelumas. Selain itu bisa menyebabkan korosi internal part dari sistem refrigerasi tsb dan juga bisa membuat filter drier mencapai titik saturasi yg jika filter tidak diganti maka mengurangi kemampuan untuk menyerap sisa uap air yg tidak bisa dikeluarkan pada saat proses vakum.
Proses vakum bertujuan untuk mengeluarkan udara dan gas lainnya yg terkandung dalam sistem agar pada saat refrigerant sudah diisi dalam sistem tsb tidak terkontaminasi.
Jadi langkah yang dilakukan sebaiknya seperti ini:
Instalasi pemipaan dan komponen-> flushing (pembersihan jalur sistem refrigerasi)-> pemasangan filter drier -> testing kebocoran dengan Nitrogen -> evacuating/vacuum -> isi refrigerant -> test run -> analisa performa.
Note: untuk sistem yg kompleks proses flushing bisa dilakukan bertahap selama instalasi.

Sabtu, 26 Januari 2013

Analisis Manfaat dan Kerugian Sistem Logistik dalam Pengembangan Jasa Maritim Pelabuhan Indonesia


Secara geografis Indonesia memang merupakan sebuah negara maritim terbesar di dunia. Pasalnya, Indonesia memiliki luas laut 75 persen dari luas daratannya dengan panjang garis pantai 95.108 km atau 14 persen dari panjang garis pantai dunia. Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.506 pulau, dan daerah perairan teritorial terbesar di dunia dengan 3,2 juta kmdan belum termasuk 2,9 juta km2 perairan zona ekonomi eksklusif. Selain itu, perairan laut Indonesia memiliki nilai strategis sebagai jalur komersial dan militer. Letak Indonesia yang mempunyai posisi geografis yang strategis juga mendukung potensi Negara sebagai jalur pelayaran penghubung antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia dan Benua Asia dengan Benua Australia untuk kepentingan perdagangan maritim internasional.
            Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang ada, Kemaritiman Indonesia sangat berpengaruh pada beberapa aspek, salah satunya adalah aspek sosial ekonomi. Pada aspek ini, poin penting dalam mendukung sektor social dan ekonomi terletak pada pembuatan system informasi kemaritiman Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya penyampaian informasi utama yang harus disampaikan untuk menumbuhkan kesadaran akan Negara maritim dikalangan masyarakat luas. Penyampaian informasi tentang pelabuhan yang mendukung sarana perkembangan perikanan dan jalur pelayaran dermaga kapal – kapal sebagai pendukung perekonomian Indonesia.
            Sistem logistik memiliki peran strategis dalam kemajuan antar sektor ekonomi dan antar wilayah demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, sekaligus menjadi benteng bagi kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional. Peran strategis sistem logistik tidak hanya dalam memajukan ekonomi nasional, namun sekaligus sebagai salah satu wahana pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sistem Logistik Nasional yang efektif dan efisien diyakini mampu mengintegrasikan daratan dan lautan menjadi satu kesatuan yang utuh dan berdaulat, sehingga diharapkan dapat menjadi penggerak bagi terwujudnya Indonesia sebagai negara maritim yang independensi. Adanya Infrastruktur yang baik dalam sistem logistik sangat berpengaruh pada kelancaran distribusi barang dan jasa di nusantara.
Ditinjau dari 4 faktor penentu yang ada pada “planning and market gatway”. Alternatif pembangunan pelabuhan memiliki manfaat dan kerugian yang bervariasi pada masing – masing sistemnya. Berikut adalah rincian dana yang dibutuhkan untuk masing-masing type pelabuhan :
Pelabuhan Type A
Untuk pembuatan pelabuhan type A dibutuhkan biaya  40 Trilliun, pelabuhan ini mempunyai kedalaman 16 meter dan mampu melayani kapal berkapasitas angkut 18.000 kontainer.
Pelabuhan Type B
Untuk pembuatan pelabuhan type B dibutuhkan biaya 1,2 Trilliun, pelabuhan ini mempunyai kedalaman 12 meter dan mampu melayani kapal berkapasitas angkut 3.000 kontainer. Jadi untuk membangun 20 pelabuhan type c dibutuhkan biaya sebannyak 24 Trilliun.
Pelabuhan Type C
Untuk pembuatan pelabuhan type C dibutuhkan biaya 800 Milliard, pelabuhan ini mempunyai kedalaman 6 meter dan mampu melayani kapal berkapasitas angkut 1.000 kontainer. Jadi biaya yang dibutuhkan untuk membangun 20 pelabuhan type c adalah 16 Trilliun.
Alternatif 1
Pada alternatif pertama ini akan dibangun 2 pelabuhan type A dengan lokasi satu di bagian Indonesia timur dan satu di bagian Indonesia barat dengan total dana yang dibutuhkan adalah 80 trilliun. Kelebihan dan kekurangan dari alternatif 2 ditinjau berdasarkan planning and market gateway adalah sebagai berikut :

Kebutuhan Pasar (Market need)
. Pelabuhan sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi. Ditinjau dari kebutuhan pasar, pelabuhan merupakan tempat dua moda/sistem transportasi, yaitu transportasi laut dan transportasi darat. Ini berarti pelabuhan harus menyediakan berbagai fasilitas dan pelayanan jasa yang dibutuhkan untuk perpindahan (transfer) barang dari kapal ke angkutan darat, atau sebaliknya. pelabuhan merupakan mata rantai dan sistem transportasi. Sebagai mata rantai, pelabuhan dilihat dari kinerjanya mapun dari segi biayanya, akan sangat mempengaruhi kegiatan transportasi keseluruhan.
Pasar reseptif (Market receptiveness)
Sistem pembangunan pelabuhan ini sangat bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan pasar, baik secara ekspor maupun impor barang sebagai objek perdagangan. Dengan adanya system pembangunan ini, pengelola pelabuhan akan lebih fokus mengatur proses transaksi besar yang dilakukan pada kegiatan perdagangan internasional oleh keduabelah pihak secara efisiensi kerja. Pelayanan untuk memenuhi kebutuhan perdagangan internasional dari hinterland pelabuhan juga lebih terjangkau sehingga akan membantu berputarnya roda pengembangan industri regional.

Faktor organisasi (Organization factor)
Manfaat yang ditinjau dari faktor organisasi,  system pembangunan ini akan lebih terkontrol oleh Negara baik secara penguasaan maupun pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional dan memperkuat pertahanan nasional. Pelabuhan sebagai pintu masuk atau pintu keluar barang dari atau ke negara atau daerah memegang peranan penting bagi perekonomian Negara. Pasalnya, kapal-kapal yang memasuki pelabuhan terkena peraturan perundang-undangan yang mencakup ketentuan-ketentuan bea cukai, imigrasi, karantina peraturan impor/ekspor dan sebagainya. Pembangunan dan pengembangan fasilitas transit pada dua pelabuhan ini juga akan meningkatkan grafik pengguna jasa pelabuhan yang secara langsung akan berdampak pada pertumbuhan devisa Negara.
Lingkungan Ekonomi (Economic Environment)
Sesuai peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah mengenai pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran, seharusnya pelabuhan memilki peran yang sangat penting dan strategis. Namun, minimnya pengaturan masalah pengelolaan pelabuhan mengakibatkan banyak terjadi kerancuan. Ditambah lagi dengan adanya Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, Undang – undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menafsirkan masalah kewenangan pemerintahan daerah dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Artinya, di sini aturan itu diinterpretasikan sebagai bentuk kebebasan pemda dalam mengelola pelabuhan yang dimilikinya sebagai aset kekayaan daerahnya sendiri. Hal ini memberi dampak positif bagi ekonomi daerah lingkungan sekitar dua pelabuhan berdiri tersebut, namun akan memberi dampak negatif bagi ekonomi daerah lain yang terpencil dan berada jauh dari dua pelabuhan ini berdiri.
Alternatif 2
Pada alternatif kedua ini akan dibangun 1 pelabuhan type A, 20 type B dan 20 type c dengan total dana yang dibutuhkan adalah 80 trilliun. Kelebihan dan kekurangan dari alternatif 2 ditinjau berdasarkan planning and market gateway adalah sebagai berikut :

Kebutuhan Pasar (Market need)
Pelabuhan sebagai tempat transportasi baik kendaraan bermotor, manusia maupun logistik mempunyai peran penting dalam memenuhi kebutuhan pasar, dengan melakukan pembangunan pelabuhan maka keuntungan yang dapat dirasakan adalah mudahnya dalam menghubungkan pulau yang satu dengan yang lainnya. Hal ini membuat pemenuhan kebutuhan pasar khusunya dalam pengiriman logistik akan lebih mudah. Indonesia sebagai negara maritim memerlukan banyak pelabuhan agar sistem logistik di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Pada alternatif kedua ini dengan membangun 1 pelabuhan type A, 20 pelabuhan type B dan 20 pelabuhan type c keuntungan yang dapat diperoleh adalah mudahnya dalam transportasi penyebaran logistik nasional. Dengan transportasi logistik yang berjalan dengan lancar terutama transortasi laut maka kebutuhan pasar akan mudah terpenuhi. Kekurangan dari alternatif 2 ini adalah dalam transportasi pengiriman logistik dari luar negeri menuju indonesia. Dengan hanya memiliki satu Pelabuhan type A kebutuhan pasar akan logistik impor tidak dapat terpenuhi secara cepat dengan mengingat luas indonesia, untuk itu agar kebutuhan pasar dapat terpenuhi khusunya untuk logistik impor diperlukan pembangunan Pelabuhan type A yang lebih banyak.

Pasar reseptif (Market receptiveness)
Dengan alternatif 2 ini kesiapan pasar akan logistik yang berasal dari dalam negeri akan terdistribusi secara cepat mengingat terdapatnya 20 pelabuhan type b dan 20 pelabuhan type c yang dapat membantu dalam proses pendistribusian logistik. Akan tetapi kendala yang terjadi pada alternatif 2 ini, kebutuhan pasar akan logistik import tidak dapat terpenuhi secara cepat.

Faktor organisasi (Organization factor)
Untuk mewujudkan suatu sistem logistik yang baik, salah satu faktor yang sangat penting adalah organisasi. Pada alternatif 2 ini dengan memiliki total 41 pelabuhan yang tersebar diseluruh nusantara sistem organisasi sangat menentukan berjalannya aktifitas pelabuhan. Dengan sistem organisasi yang baik maka akan dapat terwujud sistem logistik yang baik, begitupun sebalikya tanpa sistem organisasi yang baik maka pelabuhan yang telah di bangun tidak akan dapat berjalan dengan lancar bahkan mungkin usia pelabuhannya tidak akan lama.
Lingkungan Ekonomi (Economic Environment)
Dengan memiliki pelabuhan maka lingkungan ekonomi suatu wilayah akan lebih bagus. Dengan mempunyai 41 pelabuhan yang tersebar di nusantara setidaknya telah membantu penyebaran perekonomian di indonesia. Namun dengan pembangunan total 41 pelabuhan tidak semua ialah di nusantara dapat merasakan keuntungan dari pelabuhan ini.
Alternatif 3
Pada alternatif ketiga ini akan dibangun 1 pelabuhan type A, 10 type B dan 35 type C dengan total dana yang dibutuhkan adalah 80 trilliun. Kelebihan dan kekurangan dari alternatif 3 ditinjau berdasarkan planning and market gateway adalah sebagai berikut :

Kebutuhan pasar (Market need)
Ditinjau dari kebutuhan pasar, kelebihannya adalah alternatif ketiga ini sangat membantu masyarakat luas. Maksudnya adalah dengan berpusatnya satu pelabuhan tipe A di ibukota negara misalnya, maka akan lebih mudah terkontrol oleh pemerintah. Lalu dengan meyebarnya pelabuhan tipe B dan tipe C di seluruh kota yang di daerah pesisir pantai/ dekat dengan laut, maka masyarakat di daerah bukan perkotaan akan lebih mudah mendapatkan kebutuhan/logistik yang biasanya hanya bisa di dapatkan di kota besar. Dan dengan harga yang lebih murah pula karena tidak perlu penambahan biaya transportasi yang besar. Kekurangannya adalah pasti akan meningkatnya konsumerisme masyarakat di daerah-daerah bukan perkotaan.
Pasar reseptif (Market receptiveness)
Ditinjau dari aspek market receptiveness atau kesiapan pasar, pastinya bagi kota besar seperti Jakarta sebagai tempat pelabuhan tipe A atau pusat dari semua perdagangan dan transportasi logistik dari laut ke darat, akan lebih siap dari pada di daerah bukan perkotaan. Karena masyarakat perkotaan sudah terbiasa dengan kondisi perdagangan pasar yang ramai. Sedangkan di daerah bukan perkotaan, akan kewalahan menghadapi suasana pasar yang begitu ramai karena didirikannya pelabuhan didaerah tersebut.
Faktor organisasi (Organization factor)
Pada alternatif 3 ini dengan memiliki total 46 pelabuhan yang tersebar diseluruh indonesia maka sistem organisasi sangat menentukan berjalannya aktifitas pelabuhan. Dengan sistem organisasi yang baik maka akan dapat terwujud sistem logistik yang baik, begitupun sebalikya tanpa sistem organisasi yang baik maka pelabuhan yang telah di bangun tidak akan dapat berjalan dengan lancar bahkan mungkin usia pelabuhannya tidak akan lama. Karena didalam suatu organisasi, jika sistemnya bagus dan berjalan baik maka akan mudah mencapi tujuan dari suatu perusahaan itu.
Lingkungan Ekonomi (Economic Environment)
Dengan banyaknya pelabuhan yang tersebar di seluruh daerah, maka lingkungan ekonomi di daerah-daerah tersebut akan membaik dan bahkan akan meningkat. Karena aliran logistik akan lebih mudah dan lancar. Sehingga perdagangan akan semakin banyak terjadi di setiap daerah. Kemudian keuntungan tersebut juga akan di rasakan oleh pemerintah daerah masing-masing, karena pendapatan daerah secara tidak langsung akan bertambah.

Pertambangan tanpa Masalah


Indonesia memiliki deposit berbagai jenis bahan tambang yang cukup melimpah yang harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan perekonomian nasional ataupun daerah. Kegiatan penambangan sering dikonotasikan sebagai salah satu kegiatan yang merusak lingkungan. Selain itu, kegiatan penambangan juga sering menimbulkan konflik diakibatkan tumpang tindih kepentingan penggunaan lahan. Hal itu dapat terjadi apabila kegiatan penambangan tidak dikelola dengan baik dan benar. Setiap kegiatan penambangan pasti akan menimbulkan dampak lingkungan, baik bersifat positif maupun bersifat negatif. Dampak yangt bersifat positif perlu dikembangkan, sedangkan dampak yang bersifat negatif harus dihilangkan atau ditekan sekecil mungkin. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, maka kegiatan penambangan harus dikelola dengan baik sejak awal hingga akhir kegiatan. Kegiatan penambangan yang tidak berwawasan atau tidak mempertimbangkan keseimbangan dan daya dukung lingkungan, serta tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga seharusnya kegiatan penambangan akan memperoleh manfaat malah akan merugikan. Namun demikian, kegiatan penambangan yang memperhatikan masalah lingkungan serta dikelola dengan baik, maka tidak mustahil bahwa lahan bekas penambangan yang direklamasi dengan benar akan menjadikan lahan tersebut lebih bermanfaat dibanding sebelum adanya kegiatan penambangan.
Kegiatan pertambangan dapat diartikan sebagai suatu tahapan kegiatan yang diawali dengan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan (termasuk bila ada pengolahan dan pemurnian), pengangkutan/penjualan dan diakhiri dengan rehabilitasi lahan pasca tambang. Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Pengelolaan pertambangan sering hanya dilakukan pada saat penambangan saja. Hal ini dapat dimengerti, karena pada tahap inilah dinilai paling banyak atau sering menimbulkan permasalahan apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Persepsi yang demikian kurang tepat. Pengelolaan pertambangan sebaiknya dilakukan sejak awal hingga akhir tahapan seperti tersebut di atas. Bahkan untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan, maka sebelum suatu deposit bahan tambang ditambang, perlu dilakukan kajian terlebih dahulu apakah deposit tersebut layak untuk ditambang ditinjau dari berbagai aspek. Dengan demikian 2 pengelolaan pertambangan secara garis besar perlu dilakukan pada 3 (tiga) jenis tahapan kegiatan, yaitu kegiatan awal berupa penentuan kelayakan penambangan, kegiatan kedua pada saat penambangan (eksploitasi), dan kegiatan ketiga/terakhir pada saat reklamasi lahan pasca penambangan.

Dampak Lingkungan Kotor dengan Sampah



Permasalahan mengenai sampah merupakan hal yang sangat membutuhan perhatian khusus karena sampah menjadi persoalan nasional. Kegagalan dalam   pengelolaan sampah berimbas pada menurunnya kualitas kesehatan warga masyarakat, merusak estetika kota, dan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi arus investor ke daerah.
Bahkan menurut ahli kesehatan, polusi sampah.mengakibatkan dampak buruk yaitu pertama, terhadap kesehatan. Hal ini bisa mengakibatkan meningkatnya penyakit infeksi saluran pencernaan, kolera, tifus, disentri, dll karena faktor pembawa penyakit tersebut, terutama lalat,    kecoa, meningkat akibat  sampah yang menggunung, khususnya di TPA, meningkatnya penyakit demam berdarah, dsb.
Pembuangan sampah yang selama ini banyak dilakukan adalah dengan ditumpuknya dipinggir jalan,  lalu tim gerak pembersihan sampah mengambil secara rutin, tapi bagaimana dengan masyarakat yang tinggal didaerah atau rumahnya jauh dari jangkauan tim gerak pembersihan sampah...Mungkin ini yang menjadi pangkal masalah. Karena tidak menutup kemungkinan masyarakat tersebut membuang sampah ke sungai‐sungai terdekat atau hanya ditumpuk begitu saja atau dibakar.
Pembuangan sampah‐sampah ke sungai, akan menyebabkan pencemaran terhadap air sungai tersebut. Apalagi ada juga yang membuang limbah manusia ke sungai.  Apakah mereka tidak menyadari pentingnya air sungai bagi kehidupan masyarakat di desa‐desa. Pembuangan sampah dan limbah ke sungai akan mengakibatkan terhambatnya proses air tanah.  
Apalagi kalau ada sampah‐sampah plastik yang tidak bisa diuraikan oleh tanah, akan mengakibatkan menumpuknya sampah dan limbah. Disaat musim hujan tiba, sungai tidak bisa menahan air sungai yang deras dan akhirnya terjadilah pengikisan tanah dan sangat tidak sanggup menahan tekanan air tadi dan lalu mencari daratan baru, yang akhirnya meluap kepermukaan dan akan menyebabkan banjir.
Begitupun dampak dari sampah yang dibakar, mungkin pembakaran sampah di pekarangan rumah lebih praktis, tapi dalam jangka waktu yang panjang cara seperti ini sebenarnya merugikan individu yang bersangkutan, komunitas, dan lingkungan secara keseluruhan. Polusi yang kelihatannya sedikit ini lama‐lama menjadi bukit, karena polusi ini perlahan‐lahan akan membuat sebagian orang yang seharusnya hidup sehat menjadi sakit, antara lain sakit gangguan pernafasan.
Kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup belum optimal bahkan cenderung banyak masyarakat yang mengabaikannya. Sehingga hal ini banyak menimbulkan bencana seperti banjir, tanah longsor. Bahkan lingkungan yang buruk juga menimbulkan berbagai macam penyakit di masyarakat seperti Demam Berdarah ( DB), Chikungunya dan lain‐lain. Untuk itu perlu penyadaran lebih mendalam kepada masyarakat agar mereka mau dan peduli terhadap lingkungan hidup. Lingkungan yang kotor dan polusi sampah inilah, yang menyebabkan masyarakat tidak menyadari hidup sehat dan
akhirnya melimpahkan masalah ke pemerintah setempat. Masalah lingkungan adalah masalah kita bersama yang harus kita jaga kebersihan dan kesehatannya. Melalui perawatan rutin setiap hari jangan menunggu lingkungan rusak dan merugikan kita bersama. Lingkungan Sehat adalah Lingkungan Bebas Polusi.  

permasalahan kependudukan indonesia


Masalah kependudukan di Indonesia antara lain :

1.   1. Jumlah dan pertumbuhan penduduk
Orang pertama yang mengemukakan teori mengenai penduduk adalah Thomas Robert melthus yang hidup pada tahun 1886-1824 dalam edisi pertamanya Essay on population tahun 1798 Melthus mengemukakan dua pokok pendapatnya yaitu penduduk seperti bahan makanan adalah penting bagi kehidupan manusia dan nafsu manusia tidak dapat tertahan dan tidak terbatas atas dua hal tersebut dia mengemukakan pendapatnya bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari pertumbuhan bahan makanan. Dalil yang dikemukakan Malthus yaitu jumlah penduduk meningkat secara geografis (deret ukur) sedangkan kebutuhan hidup kian meningkat secara alat arit matika (deret hitung), akibatnya pada suatu saat akan terjadi perbedaan yang besar antara jumlah penduduk dan kebutuhan hidup.
Sementara pertumbuhan penduduk di Indonesia berkisar antara 2,15% pertahun hingga 2,49% pertahun. Tingkat pertumbuhan penduduk seperti itu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan penduduk (migrasi).
Peristiwa kelahiran di suatu daerah menyebabkan perubahan jumlah dan komposisi penduduk, sedangkan peristiwa kematian  dapat menambah maupun mengurangi jumlah penduduk di suatu daerah. Mengurangi bagi yang ditinggalkan dan menambah bagi daerah yang didatangi. Selain penyebab langsung seperti kelahiran, kematian dan migrasi terdapat penyebab tidak langsung seperti keadaan social, ekonomi, budaya, lingkungan, politik dsb. Pertumbuhan penduduk seperti dikemukakan di atas dapat dikatakan terlalu tinggi karena dapat menimbulkan berbagai persoalan. Jadi apabila pertubuhan penduduk di Indonesia tahun 1990 sebesar 2,15% pertahun diperlukan investasi sebesar 2,15 kali 4 sama dengan 8,6% pertahun. Sedangkan tingkat pertumbuhan GNP di Indonesia pada tahun yang sama hanya mencapai 4% pertahun. Defisit antara kemampuan dan kebutuhan sebesar 8,6%-4%=4% ditutup pinjaman dari luar negeri.
2.    2. Persebaran dan kepadatan penduduk.
Permasalahan yang muncul adalah tidak meratanya kepadatan penduduk antar daerah di Indonesia, secara ekonomi permasalahan yang muncul dari kondisi ini adalah rendahnya produktifitasnya daerah dengan kepadatan penduduk yang rendah.
a.   a. Stuktur umur penduduk
Umur dan jenis kelamin merupakan karakteristik penduduk utama, pengelompokan penduduk berdasarkan dua karakteristik tersebut selalu diperlukan dalam menganalisis data. Melalui analisis komponen penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin disuatu daerah atau Negara dapat dihitung berbagi perbandingan atau rasio antara lain rasio jenis kelamin waktu lahir atau sex rasio birth, rasio ibu dan anak (wild women ratio) dan rasio beban ketergantungan (dependenty ratio). Komposisi penduduk di Indonesia termasuk dalam model ekposive atau umur muda mengandung masalah penyediaan lapangan kerja pendidikan dan beban kelompok produktif.
b.   b.  Kelahiran dan kematian
Kelahiran adalah ukuran tingkat kelahiran yang digunakan dalam perhitungan proyeksi adalah angka kelahiran total atau Total Fertility Rate (TFR) dan angka kelahiran menurut umur atau Age Specificity Fertility Rate (ASFR) .
Kematian adalah ukuran tingkat kematian yang digunakan dalam perhitungan proyeksi adalah angka kematian bayi atau Infant Mortality Rate (IMR), Karena IMR merupakan salah satu indikator yang penting yang mencerminkan derajat kesehatan masyarakat. Di samping itu IMR dapat di pakai sebagai alat monitoring situasi kependudukan sekarang maupun sebagai alat untuk mengidentifikasi kelompok umur penduduk tertentu yang mempunyai resiko kematian tinggi. 



Daftar Rujukan :
Hanifah, Winkjosastro. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: yayasan bina     pustaka sarwono prawirohardjo.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: yayasan bina     pustaka sarwono prawirohardjo